Category Archives: Cerita Nasruddin Hoja

Nasruddin Hoja dan Cincin di Rumah Gelap Gulita

images

Suatu hari Nasruddin Hoja, sang sufi yang humoris, kehilangan cincin di dalam rumahnya yang gelap gulita. Anehnya, ia justru mencari cincinnya di halaman rumah, bukan di dalam rumahnya.

Bahkan, tetangganya pun turut serta membantu mencari cincin Nasruddin. Namun, saat dikatakan bahwa cincinnya hilang di dalam rumah, tetangganya jengkel dan meninggalkan Nasruddin sendirian. Kisah ini memberikan pelajaran berharga kepada kita, bahwa jika kehilangan suatu barang, maka carilah ia di tempat hilangnya, jangan mencari di tempat lain.

Tapi, kisah yang terkesan konyol itu tentu memiliki makna lain. Melalui kisah di atas, Nasruddin tampaknya ingin mengajarkan kepada kita makna berbeda di balik alasannya mencari cincin yang hilang itu di luar rumahnya. Dan, makna itu relevan pada masa kini.

Pertama, berapa banyak dari kita yang begitu bangga mencari idola atau tokoh panutan di luar rumah kita sen diri, di luar agama Islam? Kita seakan bangga ketika mengenal nama Karl Marx (tokoh komunis), Adolf Hitler (Nazi), Neil Armstrong (manusia pertama yang menjejakkan kaki di Bulan), dan Sigmund Freud (filosof). Atau, bahkan sejumah selebritas dunia seperti Ma riah Carey, Michael Jackson, Whitney Houston, dan Lady Gaga. Begitu pula dengan olahragawan top dunia lainnya.

Tapi, kita tidak pernah bangga dengan pemimpin umat ini, Nabi Muhammad SAW, teladan yang paling baik, dan khulafaur rasyidin seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, juga Ali bin Abi Thalib. Begitu pula dengan tokoh Muslim lainnya semacam Al-Biruni (tokoh astronomi), Ibnu Sina (kedokteran), al-Jabbar (matematika), Ibnu Rusyd (filosof), dan al-Khawarizmi.

Kedua, tentang rumah Nasruddin yang gelap gulita dan ia justru mencari cincinnya yang hilang itu di luar rumahnya. Ini bisa memberi pelajaran kepada kita bahwa rumah kita sesungguhnya sama dengan rumah Nasruddin, gelap gulita tanpa ada pelita atau cahaya (penerangan) sedikit pun.

Gelap gulita itu bukan semata-mata karena tidak ada lampu, tapi rumah kita gelap karena kita sendiri tak pernah mau meneranginya dengan cahaya ilahi. Kita berada dalam kegelapan karena kita disibukkan dengan urusan materi. Kita tak menerangi rumah kita dengan lantunan kalam ilahi atau shalat di dalamnya. Akibatnya rumah kita gelap gulita seperti kuburan.

Kita disibukkan dengan gadgetse perti ponsel, Blackberry, atau Ipad yang menjadi kebanggaan kita. Bahkan, hampir setiap hari kita bersentuhan dengan ponsel, tapi tak pernah menyentuh Alquran. Padahal, kalam ilahi merupakan cara kita berkomunikasi dengan Sang Pencipta Alam Semesta ini.

Rasulullah SAW sudah mengingatkan kita, “Hiasilah rumahmu dengan shalat dan (lantunan) Alquran.” (HR Bukhari). Dalam riwayat lain disebut kan, “Hiasilah rumahmu dengan shalat dan membaca Alquran, jangan jadikan ia seperti kuburan.”

Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari kisah Nasruddin Hoja di atas, dengan menjadikan pemimpin umat (Rasulullah SAW) dan para tokoh Muslim sebagai teladan terbaik bagi kita. Selain itu, kita juga perlu memperbanyak cahaya penerangan rumah kita dengan membaca dan menadaburi Alquran. Wallahu a’lam.

Leave a comment

Filed under Cerita Nasruddin Hoja

Membaca Fikiran

nasurddin“Wahai Mullah, “teriak seorang bangsawan sombong ketika berjalan men-dahului Nasruddin. “Arah mana jalan menuju ibukota?”
Bagaimana engkau bisa tahu kalau aku Mullah ? Orang yang hanya kebetulan menggunakan kata “Mullah” itu ingin menunjukkan apa yang tidak ia miliki.” kata Nasruddin.
“Aku bisa membaca pikiran orang,” katanya sombong.
“Bagus,” kata Nasruddin. “Sekarang, baca saja arah yang menuju ibukota dalam pikiranku.”

Pada suatu hari ada tiga orang bijak yang pergi berkeliling negeri untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang mendesak. Sampailah mereka pada suatu hari di desa Nasrudin. Orang-orang desa ini menyodorkan Nasrudin sebagai wakil orang-orang yang bijak di desa tersebut. Nasrudin dipaksa berhadapan dengan tiga orang bijak itu dan di sekeliling mereka berkumpullah orang-orang desa menonton mereka bicara.
Orang bijak pertama bertanya kepada Nasrudin, “Di mana sebenarnya pusat bumi ini?”
Nasrudin menjawab, “Tepat di bawah telapak kaki saya, saudara.”
“Bagaimana bisa saudara buktikan hal itu?” tanya orang bijak pertama tadi.
“Kalau tidak percaya, ukur saja sendiri,” jawab Nasrudin.
Orang bijak yang pertama diam tak bisa menjawab.
Tiba giliran orang bijak kedua mengajukan pertanyaan, “Berapa banyak jumlah bintang yang ada di langit?”
Nasrudin menjawab, “Bintang-bintang yang ada di langit itu jumlahnya sama dengan rambut yang tumbuh di keledai saya ini.”
“Bagaimana saudara bisa membuktikan hal itu?”
Nasrudin menjawab, “Nah, kalau tidak percaya, hitung saja rambut yang ada dikeledai itu, dan nanti saudara akan tahu kebenarannya.”
“Itu sih bicara goblok-goblokan,” tanya orang bijak kedua.
“Bagaimana orang bisa menghitung bulu keledai.”
Nasrudin pun menjawab, “Nah, kalau saya goblok, kenapa Anda juga mengajukan pertanyaan itu, bagaimana orang bisa menghitung bintang di langit?”
Mendengar jawaban itu, si bijak kedua itu pun tidak bisa melanjutkan.
Sekarang tampillah orang bijak ketiga yang katanya paling bijak di antara mereka.
Ia agak terganggu oleh kecerdikan Nasrudin dan dengan ketus bertanya, “Tampaknya saudara tahu banyak mengenai keledai, tapi coba saudara katakan kepada saya berapa jumlah bulu yang ada pada ekor keledai itu.”
“Saya tahu jumlahnya,” jawab Nasrudin.
“Jumlah bulu yang ada pada ekor kelesai saya ini sama dengan jumlah rambut di janggut Saudara.”
“Bagaimana Anda bisa membuktikan hal itu?” tanyanya lagi.
“Oh, kalau yang itu sih mudah. Begini, Saudara mencabut selembar bulu dari ekor keledai saya, dan kemudian saya mencabut sehelai rambut dari janggut saudara. Nah,kalau sama, maka apa yang saya katakan itu benar, tetapi kalau tidak, saya keliru.” Tentu saja orang bijak yang ketiga itu tidak mau menerima cara menghitung seperti itu. Dan orang-orang desa yang mengelilingi mereka itu semakin yakin Nasrudin adalah yang terbijak di antara keempat orang tersebut.

“Nasrudin, anakku, biasakanlah bangun pagi setiap hari.”
“Kenapa, ayah?”
“Itu kebiasaan bagus. Dulu ayah pernah bangun pas dini hari trus keluar jalan jalan.Dan ayah menemukan sekantong emas.”
“Bagaimana ayah tahu itu bukan punya orang yang kehilangan malam sebelumnya?”
“Oh, intinya bukan begitu. Walau bagaimana pun juga kantong itu tidak ada di situ malam sebelumnya. Ayah ingat bener.”
“Jadi kalo gitu, bangun pagi-pagi tidak bagus buat semua orang dong. Orang yang kehilangan sekantung emas itu pastilah bangun lebih pagi dari ayah.”

Pada suatu hari Nasrudin mendengar ada seorang muda yang bisa bermain musikdengan amat bagus. Ia pun tertarik untuk belajar musik.
Keesokan harinya, ia pergi ke kota dan menemui guru musik kenamaan.
“Tuan, saya ingin belajar musik, berapa bayarannya?”
Guru itu sejenak melihat wajahnya, sebelum akhirnya menjawab, “Murid-muridkumembayar tiga dirham untuk bulan pertama, dan kemudian untuk tiap bulanberikutnya membayar satu dirham.
Nasrudin berpikir sejenak dan kemudian berkata, “Baiklah, saya akan mulai kursuspada bulan kedua saja.”

Nasrudin meminjam periuk kepada tetangganya. Seminggu kemudian, ia mengembalikannya dengan menyertakan juga periuk kecil di sampingnya.
Tetangganya heran dan bertanya mengenai periuk kecil itu.
“Periukmu sedang hamil waktu kupinjam. Dua hari kemudian ia melahirkan bayinya dengan selamat.”
Tetangganya itu menerimanya dengan senang.
Nasrudin pun pulang.
Beberapa hari kemudian, Nasrudin meminjam kembali periuk itu.
Namun kali ini ia pura-pura lupa mengembalikannya. Sang tetangga mulai gusar, dan ia pun datang ke rumah Nasrudin.Sambil terisak-isak,
Nasrudin menyambut tamunya, “Oh, sungguh sebuah malapetaka. Takdir telah menentukan bahwa periukmu meninggal di rumahku.
Dan sekarang telah kumakamkan.”
Sang tetangga menjadi marah, “Ayo kembalikan periukku. Jangan belagak bodoh.
Mana ada periuk bisa meninggal dunia!”
“Tapi periuk yang bisa beranak, tentu bisa pula meninggal dunia,” kata Nasrudin, sambil menghentikan isaknya.

Nasrudin berlayar dengan kapal besar. Cuaca cerah menyegarkan, tetapi Nasrudin selalu mengingatkan orang akan bahaya cuaca buruk. Orang-orang tak mengindahkannya. Tapi kemudian cuaca benar-benar menjadi buruk, badai besar menghadang, dan kapal terombang ambing nyaris tenggelam. Para penumpang mulai berlutut, berdoa, dan berteriak-teriak minta tolong. Mereka berdoa dan berjanji untuk berbuat sebanyak mungkin kebajikan jika mereka selamat.
“Teman-teman!” teriak Nasrudin.
“Jangan boros dengan janji-janji indah! Aku melihat daratan!”

Leave a comment

Filed under Cerita Nasruddin Hoja